Tiga puluh satu

15589628_10211264068748344_208430771306346034_n

Sore itu kami sedang main di Laut Lipah, pinggiran Bireuen, Aceh. Saya sibuk menemani Abang yang sedang asik main pasir dengan sepupu-sepupunya. Di sela permainannya, Abang suka lari terbirit-birit bila ombak datang, dan saya mesti pastikan dia tidak jatuh, plus mengajarkan dia agar lebih tenang bila ombak datang.

Kesibukan saya baru tersita, setelah kue ini datang. Kue yang lebih dulu sehari, sebab saya berulang tahun besoknya, 7 Desember. Putri sengaja memberinya lebih awal, sebab malam itu juga kami bertolak ke Medan.

Dari semuanya, tentu saya tidak pernah membayangkan, bakal merayakan ulang tahun tiga puluh satu di sana. Bagaimanapun, saya ada di satu tempat yang jauh sekali dari apa yang biasa saya sebut rumah.

Saya kira, beginilah waktu bekerja, dia membawamu dalam perjalanan –jauh, entah kemana– sampai kau sadar telah memulai sesuatu yang baru.

Saya jauh sekali, tapi bukan berati saya tak punya rumah. Saya punya keluarga kecil ini, satu hal yang pada beberapa tahun terakhir telah jadi rumah baru bagi saya.

Momen itu hanya sekitar empat hari dari hari jadi pernikahan kami yang keempat. Ada satu kue besar juga kala itu, kami tiup di atas tempat tidur hotel di Berastagi. Ada maneken-gulali di atas kuenya, replika kami bertiga: Saya, Abang, dan Putri.

Sebermulanya adalah pengaruh

Media sosial sering disebut sebagai cerminan relasi sosial kita. Benar adanya, paling tidak bila menengok fakta bahwa komposisi warga intenet (netizen) yang berkelas-kelas. Persis kondisi masyarakat kita.

Modal paling kasat adalah jumlah pengikut. Jangan heran dulu di Twitter, ada “fakir follower”. Ada pula para “buzzer” (baca: akun berpengaruh). Kata “buzzer” itu setaraf “pendering alarm”.

Dalam praktiknya, mereka memang “pendering alarm”. Orang yang memberi sinyal agar khalayak terbangun–terutama para pengikutnya. Dan lantas tergugah untuk mengikuti isu yang mereka bunyikan.

Tiap status Facebook mereka disambut ratusan hingga ribuan tanda suka. Pun ada para kawan setia yang bersedia membagikannya, menyebarluaskan (share). Di Twitter, kicauan mereka menuai banyak retweet. Tagar (hashtag) yang mereka kicaukan siap digemakan para pengikutnya.

Belakangan, kata “buzzer” itu kena unsur peyoratif. Kata itu telanjur menempel dengan sentimen negatif. Ada kecurigaan soal uang yang mengalir kepada mereka dalam meniupkan tiap isu. Ada kekhawatiran soal isu pesanan. Dan sebagainya, sebangsanya.

Memang ada konsep influencer marketing, yang ikut merebak seiring dengan perkembangan media sosial. Betul pula ada sejumlah praktik yang bisa mengonfirmasi setiap laku dalam pernyataan di atas. Tapi apakah itu dilakukan oleh semua “buzzer” (sekali lagi, baca: akun berpengaruh).

Pertanyaannya: Apakah setiap “buzzer” itu punya agenda terselubung? Apakah mereka mendapat uang dalam tiap kicauan atau status yang mereka kirimkan? Pendek tanya, apakah benar mereka berdagang pengaruh di media sosial?

Pada akhirnya, dengan segala unsur peyoratif yang telanjur melekat, jangan heran bila nyaris tidak ada orang yang disebut sebagai “buzzer”, akan menyambut gelar itu dengan senang hati.

*) Selamat hari buzzer, eh maaf, blogger, yang sudah lewat sehari.

“Leste”

image

Alkisah, republik yang kau cintai ini, pernah punya jajahan, kita kenal namanya Timor-Timur. Hafalan anak sekolah dasar menyebutnya sebagai “provinsi termuda di Indonesia” –sebagaimana diajarkan oleh kurikulum militer orde baru. Setelah merdeka namanya menjadi Timor Leste.

Foto diambil di ruang tamu, salah satu organisasi non pemerintah di Jogja. Agak janggal saja, meski sudah merdeka, penempatannya demikian. Kenapa tidak sejajar? Mungkin karena bentuk dan medium lambang yang tak sama, maka lebih proporsional di buat begitu. Atau jangan-jangan, memang kebanyakan dari kita tidak pernah lepas dari imaji nasionalisme.

Semoga bukan cinta atas nama nasionalisme itu juga yang membenarkan kekerasan militer di Papua, hari ini. Nasionalisme macam apa yang membenarkan orang bisa membunuh? Menjajah bangsa lain? Melakukan penindasan manusia atas manusia?

Motol Kampanye

Zappa (4 tahun), anak salah seorang kawan saya, takut dengan apa yang disebutnya dengan lidah pelo sebagai “Motol Kampanye”. Tiap kali mendengar suara knalpot yang pengang, ia bersembunyi di balik kaki bapaknya.

Bila di antar-jemput ayahnya ke sekolah, Zappa meminta agar telinganya disumpal saja dengan kapas. Ia takut dan terganggu –besar kemungkinan trauma– dengan suara bising “motor kampanye”.

Alkisah, Zappa dan kawan-kawannya baru saja bubaran playgroup. Seperti biasa para orang tua menjemput anak-anak mereka di halaman sekolah. Di saat yang sama, rombongan kampanye salah satu parpol melintas di depan sekolah, lengkap dengan kebisingan knalpot.

Meski minus Israfil, suara knalpot bising itu mendadak menjadi terompet sangkakala. Seperti kiamat kecil, terjadi histeria massal. Zappa dan teman-temannya berlarian mencari orang tua mereka. Ada yang berteriak histeris, beberapa yang lain mulai menangis.

Kuli bita

Tak banyak yang mengerutkan dahi saat mendengar istilah ‘kuli tinta’. Merujuk pada jurnalis; wartawan; atau mereka yang menggantungkan nafkah pada aktivitas menulis karangan (buku, artikel, dan serupanya). Dulu tinta memang eksis, ketika semua produksi tulisan sangat bergantung padanya. ‘Kuli tinta’ pun jadi relevan, istilah itu mengakomodir semangat zamannya.

Hari ini, orang kian sering memproduksi konten di internet. Hingga beberapa tahun lalu, secarik kertas memang masih menjadi hulu informasi. Tapi lihatlah sekarang, kita menikmati informasi dari piksel yang berbaris rapat-rapat di layar ponsel atau komputer. Dulu pesan dan informasi dititipkan pada tinta, yang kini perannya diambil oleh satuan data.

Dalam konteks sederhana itu, saya ingat kata ‘bita’ (inggris: byte) merujuk pada satuan penyimpanan di dalam komputer. ‘Kuli Bita’ mungkin bisa diajukan sebagai diksi alternatif untuk ‘kuli tinta’. Ia menyerap semangat zaman, terkhusus untuk penulis di era media baru (begitu kita mengartikan ‘new media’?), yang menyimpan informasinya dalam satuan-satuan data.

Sebutlah jurnalis sebuah situs berita, ia menyimpan (baca: unggah) semua tulisan berisi informasi dalam bentuk data. Data itulah yang kemudian dibuka (baca: unduh) oleh mereka yang ingin mengakses informasi, lewat sambungan internet berbekal perambaan. ‘Bita’ serupa ‘tinta’ pada zamannya. Keduanya adalah medium bagi manusia untuk menyebar atau bertukar informasi. Laman-laman yang kita kunjungi, diisi oleh satuan-satuan data. Seperti kertas-kertas surat kabar yang dipenuhi tinta.

‘Kuli bita’ atau ‘kuli tinta’. Akh, agaknya tak perlu menggunakan ‘kuli’, sebab mereka yang mencari nafkah dari menulis kini lebih suka digolongkan sebagai profesional, olehnya tak pantas disebut ‘buruh’ –atau lebih-lebih ‘kuli’. Tak usahlah ‘kuli bita’, bahkan ‘kuli tinta’ saja sudah jarang kita dengar.

Sweet Serenade

Saya ingat pertama kali mendengar mixtape ini, di sebuah kamar kost tiga-kali-tiga, kita bertukar cerita sambil memutar daftar lagu yang sepenuhnya di bawah kendalimu. Di lain hari, saya sedang terbaring sakit,  ketika mendengarkan lagu-lagu ini. Mixtape ini juga selalu tersimpan dalam alat pemutar lagu milikmu.

Durasinya 55 menit 48 detik, dengan 25 lagu di dalamnya. I’ll be Your Pillow jadi lagu yang paling saya suka. Boleh jadi, tiap-tiap orang punya lagu khusus yang mengingatkan mereka pada pasangan. Dalam kasus saya, itu terjadi ketika mendengar mixtape ini.

Silakan mendengarkannya di sini.