Sore itu kami sedang main di Laut Lipah, pinggiran Bireuen, Aceh. Saya sibuk menemani Abang yang sedang asik main pasir dengan sepupu-sepupunya. Di sela permainannya, Abang suka lari terbirit-birit bila ombak datang, dan saya mesti pastikan dia tidak jatuh, plus mengajarkan dia agar lebih tenang bila ombak datang.
Kesibukan saya baru tersita, setelah kue ini datang. Kue yang lebih dulu sehari, sebab saya berulang tahun besoknya, 7 Desember. Putri sengaja memberinya lebih awal, sebab malam itu juga kami bertolak ke Medan.
Dari semuanya, tentu saya tidak pernah membayangkan, bakal merayakan ulang tahun tiga puluh satu di sana. Bagaimanapun, saya ada di satu tempat yang jauh sekali dari apa yang biasa saya sebut rumah.
Saya kira, beginilah waktu bekerja, dia membawamu dalam perjalanan –jauh, entah kemana– sampai kau sadar telah memulai sesuatu yang baru.
Saya jauh sekali, tapi bukan berati saya tak punya rumah. Saya punya keluarga kecil ini, satu hal yang pada beberapa tahun terakhir telah jadi rumah baru bagi saya.
Momen itu hanya sekitar empat hari dari hari jadi pernikahan kami yang keempat. Ada satu kue besar juga kala itu, kami tiup di atas tempat tidur hotel di Berastagi. Ada maneken-gulali di atas kuenya, replika kami bertiga: Saya, Abang, dan Putri.