Tidak Sedang Bapatende

https://twitter.com/imoneter/status/325476553419010048
https://twitter.com/imoneter/status/325477107427840000

Mulanya adalah kicauan dari akun @imoneter, milik Rachmad Ibrahim, seorang kawan yang usahanya dalam menumbuh-kembangkan kultur kreatif di Palu sudah dikenal luas (sehingga tak perlu lagi dituliskan di sini). Saya menimpali kicauan Im, begitu dia biasa disapa, dan lahirlah dikusi yang terasa kontra-produktif itu. Maka saya pun berinisiatif untuk menjelaskan perihal diskusi itu melalui tulisan ini, semoga menjadi lebih terang, dan berguna (minimal bagi saya).

Kicauan-kicauan saya saat menimpali Im, merupakan  pendapat pribadi terkait relasi industri kreatif dengan kelas-kelas sosial. Industri kreatif akan hadir jika pasarnya tersedia, yang dimaksud sebagai pasar adalah kelas menengah. Produk kreatif, seperti clothing, musik, film dan lain-lain umumnya diproduksi oleh kelas menengah,  lingkaran seputar mereka juga yang menyerapnya sebagai barang konsumsi.

Berikut analogi sederhananya: kelas bawah sibuk berpikir tentang beras, sembako dan lain sebagainya. Kelas atas lebih senang mengurusi gadget, berlian, atau barang branded nan mewah. Dengan asumsi itu kelas menengah-lah yang punya akses untuk mengeluarkan uang, dan membelanjakan sesuatu yang menurut mereka penting, termasuk produk kreatif.

Berikutnya mungkin terasa generalis, tapi semoga bisa membantu: Saat kelas bawah lebih memilih dengar Rhoma Irama atau ketukan ritmik dangdut koplo, kelas atas asyik goyang kepala di konser artis manca, sementara kelas menengah membeli CD musik dari band indie lokal.

Apabila bersandar pada statistik yang dikeluarkan oleh Boston Consulting Group (BCG), saat ini baru 12 kota besar Tanah Air yang memiliki lebih dari 1 juta kelas menengah. Menurut studi Bank Dunia, kalangan ini terbagi empat kelas lagi. Pertama, pendapatan Rp1-1,5juta per bulan. Kedua, kelas pendapatan Rp1,5 -2,6 juta perkapita perbulan. Kelas berpendapatan Rp2,6-5,2 juta perbulan. Serta golongan menengah berpendapatan Rp5,2-6 juta perbulan. Tentu saja dalam kondisi masyarakat yang bertingkat-tingkat ini, persentase populasi pembagian pendapatan itu terus menurun pada tiap-tiap kelasnya.

Ada beberapa statistik lainnya, tapi karena keterbatasan waktu, tidak dimuat di sini. Statistik ini dicantumkan karena jarak waktu rilisnya lebih dekat dengan kejadian debat kontra-produktif itu, berikut ada sentimen positif terkandung di dalamnya.

Berkaca pada data-data di atas, apakah Palu termasuk dalam 12 kota besar itu? Jawabannya tidak, kita hanya akan menemukan nama-nama seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lain-lain di sana. Sekedar catatan, jumlah penduduk di Palu berkisar di angka 350 ribu jiwa –akan lebih menarik jika kita tahu berapa jumlah persentase kelas menengahnya.

Tak mengherankan jika di kota-kota besar itu, “kreatif” telah mendapat penambahan kata “industri” di belakangnya –sekaligus mengisyaratkan sebuah kultur kreatif yang berkembang pesat. Skalanya massal dan daya serap pasar yang tersedia, terciptalah istilah Industri Kreatif.

Lantas apakah di kota yang memiliki populasi kelas menengah sedikit disebut tidak kreatif? Di kota-kota seperti itu tentu ada kelas menengah yang mulai bergeliat di dunia kreatif –bahkan tak kalah kreatif dengan produk-produk di kota lain. Ini juga terjadi di Palu. Ada teman-teman yang mulai membuka usaha clothing, bisnis rekaman, bisnis fotografi-videografi, desain dan lain-lain. Tapi tentu skalanya belum massal, sebab masih dalam tarafan membangun sebagai industri. Silakan cek di Palu, mungkin saja ada beberapa produk kreatif yang menemukan pasarnya di luar Palu (ini untuk mereka yang berjualan online mungkin lebih pas), terutama di kota yang kelas menengahnya tumbuh, di mana produk kreatif menjadi sesuatu yang diserap pasar.

Bahwa ada transaksi jual-beli produk-produk kreatif di lokal Palu, jawabannya: yah! Tapi belum cukup massal untuk disebut sebagai industri. Tak heran kalo muncul istilah bernada baku-sedu: “kere dan aktif” (sebagai plesetan kreatif) di kota macam ini, sebab dalam tarafan membangun tentu dibutuhkan semangat lebih. Im tentu jauh lebih paham hal ini dibanding saya, yang dia sebut melihat Palu dari kejauhan. Usaha ini yang tentu saja harus didukung terus menerus. Tak ada yang salah dengan usaha-usaha kreatif itu. Tokh boleh jadi akan ada pertumbuhan pesat dari kelas menengah di Palu

Para analis dari BCG menyebutkan, hingga tahun 2020 mendatang pertumbuhan kelas menengah tidak akan tersentral lagi di kota-kota besar yang selama ini kita kenal. “Sekitar 47 persen kelas menengah baru di Indonesia akan datang dari luar Jawa, dengan Sulawesi memiliki pertumbuhan paling pesat,” tutur Managing Director BCG Vaishali Raistogi.

Analisa terakhir itu memberi angin positif bagi teman-teman yang sekarang fokus dalam usaha kreatif. Di tahun-tahun mendatang pertumbuhan kelas menengah diprediksi akan tumbuh pesat di Sulawesi. Bagi mereka yang sudah bersiap lebih awal, kesempatan untuk sukses bisa dipastikan lebih besar.

Saya hanya ingin memberi komentar bahwa perihal industri/kultur kreatif itu juga berkorelasi dengan soal-soal lain, termasuk ekonomi. Sebagai pelengkap apa yang dikicaukan Im. Kicauan Im hanya menyinggung soal transaksi jual-beli, dan kumpulan slogan-slogan khas motivator. Penjelasan ekonomi yang dimunculkan Im berkisar diantara tawar menawar orang kreatif dengan konsumen. Boleh jadi mungkin Im lupa, ada konteks-konteks sosial lain di seputarnya, sebelum buru-buru menuju ke soal tawar-menawar itu.

Kalo mau ditarik lebih luas, hadirnya kultur dan industri kreatif akan terus beririsan dengan perkembangan sosial-ekonomi-politik di Palu. Kultur dan industri itu tidak berdiri sendiri, tahu-tahu produknya langsung bisa diserap oleh pasar. Itu hanya bisa terjadi kalo analisisnya berasal dari kalangan ahli nujum. Lebih jauh lagi (guna mendapat konteks) bagaimana mengharapkan ada kelas menengah, kalo soal-soal mendasar kayak listrik saja masih salah urus? Artinya kebutuhan menumbuh-kembangkan kultur kreatif di Palu akan selalu beririsan dengan kondisi sosial-ekonomi-politik sehari-hari di Palu.

Selanjutnya, mari kembali pada hal-hal yang harus diluruskan dari Im. Berikut pernyataan-pernyataan saya menanggapi apa yang dikicaukan Im, pada Sabtu lalu:

https://twitter.com/fikrie/status/325477439176318978
https://twitter.com/fikrie/status/325486273257156610
https://twitter.com/fikrie/status/325486453134090240
https://twitter.com/fikrie/status/325487310487556097
https://twitter.com/fikrie/status/325487390598762496
https://twitter.com/fikrie/status/325487756715388928
https://twitter.com/fikrie/status/325488029605171200

Boleh jadi ada beberapa salah ketik (di saya maupun Im), maklum media 140 karakter, jelas bukan tempat yang ideal untuk berdebat. Olehnya semakin perlu membuat tulisan ini.

Tweet selanjutnya lebih kayak debat kusir, silakan dicek saja di TL kami berdua. Saya tidak sedang dalam posisi menyerang, sekedar bertanya dan menambal apa-apa yang tidak diungkap Im. Tapi dengan model penjelasan yang tidak bermaksud menyerang sekalipun, entah atas dasar apa Im menyebut saya dalam tweet-nya sebagai seorang yang terlalu lama di luar Palu dan embel-embel serupa lainnya, yang menurut saya patut diluruskan. Berikut saya kutipkan:

Pernyataan itu,  agaknya kurang patut jika terucap dari Im yang selama ini saya kenal. Logika pernyataannya: Im sedang mempertanyakan keabsahan saya untuk berbicara tentang Palu, sebab saya terlalu lama tinggal di kota lain. Saya hanya pantas bicara terkait Palu, setelah saya tinggal di sana. Satu lagi: saya tidak menyebut diri kreatif (atau lebih hebat dari siapa pun), yang saya lakukan adalah menambal apa yang mungkin dilupakan Im. Silakan cek TL saya jika perlu.

Saya ingin bertanya: apakah seorang Ben Anderson yang Indonesianis itu berdomisili di Indonesia? Apakah William Nessen tak patut bicara tentang Aceh, hanya karena dia warga negara Amerika Serikat?

Apakah Tania Li yang notabene tidak ber-KTP dan tidak tinggal di Palu, lantas tidak boleh meneliti dan menulis di Palu? Antropolog ini menulis soal Sulawesi Tengah dengan sangat baik. Termasuk menyinggung sedikit sejarah kopi –yang terakhir, dikutip oleh Neni Muhidin untuk melengkapi tulisannya tentang kopi Palu yang menggugah kerinduan itu.

Saya bisa menyebut beberapa tokoh asal Palu, yang juga berdomisili di luar, tapi mereka aktif memberi perhatian kepada ibukota Sulawesi Tengah itu. Tapi makin tak elok rasanya jika menyebut mereka, seolah menyeret dalam masalah yang kesannya lebih pribadi ini.

Saya tidak sedang memposisikan diri seperti orang-orang di atas. Tapi model pikir seperti milik Im, bisa saja merambat ke soal-soal lain. Termasuk peniaian kita terhadap orang “dari luar” yang bicara tentang Palu.

Apa orang-orang macam ini tidak pantas bicara tentang Palu, hanya karena mereka tidak tinggal di Palu? Idealnya hormat kita ke mereka yang menulis dan memberi perhatiannya pada Palu dengan sunguh-sungguh, tidak akan tersekat-sekat dengan domisili, kebangsaan, suku dan lain-lain. Saya juga menaruh hormat yang sama kepada siapa pun yang tinggal di Palu, dan memberi perhatiannya dengan sungguh-sungguh terhadap kota itu, termasuk Im. Siapa pun dia silakan bertutur tentang Palu, bahwa ada hal-hal yang tidak disepakati dalam argumennya, maka tetap terbuka kesempatan untuk balik mendebat.

Bukan dengan menendang orang dalam kotak yang bertulis “bukan Palu” seperti yang kemarin dilakukan Im. Boleh jadi Im lebih tahu banyak tentang Palu dibanding saya, tapi dengan menyekat orang untuk berpendapat hanya karena tidak tinggal di Palu, merupakan sebuah cara berdiskusi yang sama sekali tidak elegan –kalo tidak mau dibilang sesat pikir.

Pandangan-pandangan seperti itu memelihara pola pikir sektarianisme, menganggap diri dan pikirannnya paling benar (bahkan mampu melahirkan sekte tertentu). Besok-besok mungkin lebih parah lagi, pandangan seperti ini jadi benih dari rasialisme. Keduanya jelas “jauh panggang dari api” dengan yang disebut pluralis atau multikultur.

Saya sendiri yakin, Im tidak memiliki pandangan-pandangan negatif seperti itu, boleh jadi dia terlalu sensi —sesuatu yang justru dia tuduhkan kepada saya via DM, sambil menawarkan cap tikus. Agaknya tak butuh alasan remeh-temeh seperti kekurangan minuman keras, untuk berargumen atas hal-hal yang memang dirasa perlu diluruskan. Saya berusaha untuk tetap berpikir positif terhadapnya, tapi bukan berarti  harus membiarkan perdebatan itu menguap, tanpa perlu meluruskan sesuatu yang perlu dikoreksi.

Kalo Im pernah disebut-sebut sebagai pioner Punk di Palu, tentu dia paham tulisan dengan nada-nada seperti ini. Tulisan seperti ini bisa dengan mudah ditemukan di zine-zine Punk lawas. Di mana orang berdebat untuk apa yang diyakininya. Saya pikir, jika orang kreatif itu benar ada, maka kebebasan berpikir merupakan salah satu cirinya. No Hard Feeling. Jangan sampe kodirara, karena ini tidak sedang bapatende.

One thought on “Tidak Sedang Bapatende

Leave a comment